Magetan-numedia
Kalau anda berfikir Al-Quran di jaman dahulu seperti yang ada sekarang, anda salah. Karena Tulisan Al-Quran pada abad pertama, kedua dan ketiga Hijriyah, tanpa titik harakat seperti yang anda baca saat ini.
“Itulah tulisan Al-Qur’an abad pertama, kedua dan ketiga hijriyah. Siapa bisa membaca 1 baris saja mendapatkan hadiah,” tulis KH Manshur, Pengasuh Ponpes Al-Mafaza, Tawanganom Magetan di sebuah group WhatsApp numedia.
Berdasar pada gambar, Mushaf abad pertama hingga abad ketiga Hijriyah, tidak ada harakat, titik dan tanda baca pada Awal Pembukuan Al-Qur’an. Apakah anda bisa baca mushaf al-Quran di awal pembukuannya?
Sejarah Pemberian Syakal dalam Al-Quran
Mengacu pada tulisan, KH Muhammad Taufik Damas, Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI Jakarta, di www.nu.or.id, yang berjudul “Al-Quran dan Sejarah Intelektualitas Umat Islam” Jika dulu kita menerima Al-Qur’an yang benar-benar asli (tanpa tanda dan syakal), dijamin kita tidak akan mampu membacanya. Lihatlah gambar Al-Qur’an asli, tidak ada titik-titik dan tidak ada syakal, apalagi penjelasan tajwid.
Ketika Islam mulai berkembang dan banyak orang memeluk Islam, maka ada kekhawatiran mereka tidak akan mampu membaca Al-Qur’an dengan benar. Tentu akan sangat mempengaruhi pengertian-pengertian yang ada dalam Al-Qur’an.
Agar Al-Qur’an dapat dibaca dengan benar dan pengertian-pengertiannya dapat dipahami dengan baik, ulama melakukan ijtihad menciptakan titik-titik, tanda baca (syakal/harakat), ilmu nahwu, dan ilmu tajwid.
Adalah Abu Aswad Ad-Duali (69 H) yang menciptakan tanda baca (syakal/harakat). Tanda baca yang diciptakan oleh Abu Aswad masih berupa titik-titik: titik-titik inilah yang membedakan huruf yang satu dibaca fathah, kasrah, atau dhammah.
Pada fase selanjutnya ada ulama yang bernama Nasr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mar. Dua ulama ini berijtihad menciptakan garis-garis pendek untuk membedakan ejaan huruf yang sama, seperti ba, ta, tsa, ha, kha, ha, sin, syin dan lain-lain.
Seorang ulama bernama Khalil bin Ahmad (170 H) kemudian membalik fungsi tanda-tanda baca tersebut. Titik-titik yang tadinya merupakan tanda harakat diubah menjadi tanda pembeda ejaan antara huruf-huruf yang bentuknya sama.
Pada perkembangan selanjutnya juga diciptakan tanda hamzah yang sebelumnya ditulis dalam bentuk alif. Khalil bin Ahmad terus berijtihad menciptakan tanda tanwin, tasydid, dan sukun. Khalil bin Ahmad memang dikenal sebagai pakar fonologi (ilmul ashwath), morfologi (ilmus sharf), dan sintaksis (ilmun nahwi) bahasa Arab.
Khalil bin Ahmad kemudian melahirkan seorang murid yang sangat terkenal dalam bidang ilmu nahwu, yaitu Imam Sibawaih.
Selain fonologi, morfologi, dan sintaksis, Al-Qur’an juga mengandung ilmu tajwid yang kemudian dihimpun oleh para ulama, di antaranya adalah Al-Adzhim Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, Hafsh bin Umar Ad-Duriy, Al-Hafizh Abu Bakar bin Mujahid Al-Baghdadi dan lain-lain.
Karena ilmu tajwid inilah kita bisa mengerti bacaan huruf panjang atau pendek dalam Al-Qur’an. Selain itu, kita juga dapat membedakan suara huruf-huruf (makharijul huruf) yang ada dalam Al-Qur’an, terutama huruf-huruf yang pelafalannya hampir sama, seperti ha, kha, dan ha.
Penjelasan singkat ini saya tuliskan karena baru-baru ini saya bertemu dengan orang yang menyatakan bahwa memahami Islam tidak perlu merujuk pada ijtihad para ulama. Mereka meyakini Islam itu mudah, maka memahaminya cukup dengan kembali kepada Al-Qur’an; tidak perlu mempelajari ijtihad para ulama yang rumit itu.
Penjelasan singkat ini saya maksudkan agar orang tersebut sadar bahwa jika tidak ada ulama, kita bahkan tidak akan mampu membaca Al-Qur’an dengan benar, apalagi menggali hukum darinya.
Yang menciptakan titik-titik, harakat, nahwu dan tajwid itu bukan Rasulullah SAW dan bukan sahabat, tapi para ulama. Inilah yang dimaksud oleh salah satu hadis Nabi bahwa para ulama adalah ahli waris para nabi.
Ini baru soal cara membaca Al-Qur’an. Bagaimana dengan cara memahami Al-Quran? Tentu diperlukan disiplin ilmu lainnya, di antaranya adalah ilmu ushul fiqih yang tokoh utamanya adalah Imam Syafi’i.
Orang yang menyatakan bahwa memahami Islam cukup kembali kepada Al-Qur’an, sambil mengabaikan peran para ulama, saya yakin orang itu tidak pernah belajar sejarah Al-Qur’an, sejarah umat Islam, bahkan tidak pernah belajar Islam dengan sebenar-benarnya.
Jangan mudah terpukau pada orang yang jago menyitir ayat kemudian menyimpulkan putusan hukum. Jika tidak didasarkan pada pemikiran Islam yang panjang, ia pasti sering keliru. Wallahu a’lam. ***