Kartoharjo-numedia
Mencari sekolah formal, yang inovatif, dan berbasis pesantren ahlussunnah waljamaah an-nahdliyah , SMP Islam al-Ikhlas Karasan Kartoharjo Magetan, jawabannya.
SMP Islam yang menyatu dengan Pondok Pesantren al-Ikhlas itu, baru berumur satu tahun. Sesuai turunnya ijin operasional tahun 2021 lalu. Ulang tahun yang pertama dirayakan secara sederhana dan Khidmat, di aula pondok, pada Sabtu (17/09/2022).
Mulai doa bersama, pemotongan tumpeng, mauidhoh hasanah, dan penyerahan hadiah lomba-lomba yang digelar sebelumnya.
“Terimakasih kepada semua pihak, yang telah membantu mensukseskan acara hari ulang tahun pertama SMP Islam Al-Ikhlas, semoga terus berkembang, terus berinovasi,” kata Kepala SMP Islam Al-Ikhlas, Kirana Apriliany Nur Hanifah, Sabtu (17/09/2022).
Meskipun terbilang baru, namun SMP Islam Al-Ikhlas Karasan ini, cukup banyak peminatnya. Di tahun pertama (2021) ada 41 siswa/santri. Dan di tahun ajaran baru 2022, ada sebanyak 90 santri yang belajar di SMP al-Ikhlas tersebut.
Penghargaan Program Tahfidz, Kitab Kuning, dan Bahasa Arab
Di hari ulang tahunnya yang pertama, SMP Islam Al-Ikhlas, juga memberi penghargaan pada siswa siswi/ santri yang mengikuti progam Tahfidz, Kitab Kuning, dan Bahasa Arab.
Untuk program tahfidzul qur’an mereka yang telah menyelesaikan hafalan 3 dan 4 juz. Untuk program bahasa Arab, bagi mereka yang telah bisa berbicara, menulis, dan mendengarkan bahasa arab dengan baik. Sedangkan untuk program kitab kuning, adalah mereka yang telah menyelsaikan baca kitab sekaligus menerapkan nawhu shorrof dalam kitab.
Tarbiyah Seperti Menjahit Baju
Pengasuh Pondok pesantren Al-Ikhlas, KH Hamim Jazuli, memberikan mauidhoh hasanah pada ulang tahun pertama SMP Islam Al-Ikhlas.
Mengutip Imam Gazhali, Beliau mengibaratkan tarbiyah (pendidikan) seperti menjahit baju. Santri/siswa seperti kain, dan guru diibaratkan seperti penjahit.
“Semua siswa-siswi atau santri dititipkan oleh orang tuanya untuk dijahit atau dididik menjadi anak yang berilmu bermanfaat, sholih dan sholihah,” terang KH Hamim Jazuli.
Ibarat kain, lanjutnya, setiap santri, tidak sama. Ada yang gampang diukur, gampang dijahit. “Tapi nggih enten sing uangel ngoten niku,” tambahnya.
Tentu butuh kesabaran dan ketelatenan guru, menghadapi siswa-siswi yang tidak biasa. Dan ada penanganan khusus bagi mereka siswa atau santri yang seperti itu. “Nah ibarat benang yang susah dimasukkan ke jarum, nggih diplintir, alias ditertibkan,” ujarnya. Kalau tetap tidak bisa, lanjutnya, nggih didungani (didoakan).
Kekuatan doa, menurut kyai Hamim, merupakan keistimewaan pendidikan di pesantren. “Ini keistimewaan SMP Islam Al-Ikhlas, karena menjadi satu terintegrasi dengan pondok pesantren,” terang kyai NU Magetan ini.
Penulis : M.Ramzi