Judul di atas bukan ujug-ujug ada, atau ngawur dibuat. Akan tetapi terinspirasi dari sebuah sya’ir Muhammad bin al-Hasan yang dutulis dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim karya Syekh Al-Zarnuji,
فان فقيها واحدا متورعا ** أشد على الشيطان من ألف عابد
Bahwa seorang faqih (orang yang paham ilmu fiqih) yang waro’, itu lebih berat bagi syetan untuk menggodanya, dibandingkan seribu orang ahli ibadah tapi tidak paham fiqih (fiqh)
Sya’ir di atas diawali dengan sya’ir:
تفقه فان الفقه أفضل قائد ** الى البر والتقوى واعدل قاصد
Kalimat “تفقه” oleh sebagian terjemahan bahasa Indonesia kitab ta’limu al-muta’allim diartikan sebagai “belajarlah ilmu agama”. Tapi dalam syarah kitab ta’limu al-muta’allim yang ditulis oleh Syekh Ibrahim bin Ismail, lebih khusus mengartikannya, belajar dan memahami ilmu fiqih.
Kalau dirunut pada tulisan sebelumnya di bab yang sama (Bab Hakikat Ilmu, dan Keutamaannya), ilmu fiqih sebagai ilmu hal yang wajib dipelajari dan dipahami oleh umat muslim. Karena ilmu tersebut berkaitan langsung dengan apa yang menjadi kewajiban umat muslim.
Seperti shalat misalnya. Bagaimana kita bisa menunaikan shalat sempurna, kalau tidak tahu ilmunya, rukun, wajib, dan yang membatalkan. Termasuk tata cara wudlu, dan air yang boleh dibuat berwudlu. Ilmu-ilmu tersebut bisa didapat dengan belajar ilmu fiqih.
Di bagian lain, Syekh Ibrahim bin Ismail menyebut, Hal yang paling utama setelah tauhid adalah belajar ilmu fiqih
أن أولى الأشياء بعد التوحيد أن يتعلم علم الفقه
Bahkan Imam Syafii dawuh, seorang sufi kalau tidak faqih, maka disebut sebagai jahul (lebih bodoh dari orang bodoh). Imam Syafi’i mensyaratkan, menjadi sufi dan faqih. Faqiihan wa shufiyan, fakun laisa wahidan
Isi kitab Ta’limu al-Muta’llim tentang pentingnya belajar ilmu fiqh, masih sangat relevan hingga saat ini. Dalam realita masih banyak yang beribadah tanpa memahami ilmu fiqh.
Kalau boleh dikasih contoh kecil, ada seseorang yang hendak shalat, ia memakai celana panjang, masuk kamar mandi, buang air kecil, dengan berdiri, tanpa menyingsingkan celananya. Kemudian berwudlu, dan shalat dengan pakaian yang ia gunakan sebelumnya.
Dipastikan celananya kecipratan air kencing (najis). Karena tidak paham, ya tetap saja ia shalat. Bagaimana coba, padahal salah satu syarat sahnya shalat adalah mengenakan pakaian yang suci.
Kalau seperti itu, syetan tak perlu menggodamu saat shalat, karena sudah masuk perangkap sejak di kamar mandi. **
Wallahu a’lam bis shawab
M.Ramzi, Santri di LTNNU Magetan