Magetan-numedia
Membaca esai Denny JA yang berjudul “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?”, kita ditunjukkan pada kenyataan yang memprihatinkan. Negara-negara muslim ternyata belum menjalankan keislamannya secara konsekuen. Baik dilihat dari indeks perilaku islami sampai tingkat kebahagiaan penduduknya.
Di sisi yang lain, esai tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian kecil kelompok muslim di negeri ini ternyata belum selesai dengan persoalan ideologi negara yang telah disepakati the founding fathers. Penghilangan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila masih terus diperjuangkan kembali. Mereka menjadikan Piagam Jakarta sebagai alibi untuk mengubah Pancasila dan NKRI menjadi NKRI Bersyariah. Suatu slogan agung namun di dalamnya penuh dengan kepalsuan.
Perjuangan mewujudkan “NKRI Bersyariah” yang digaungkan oleh sekelompok kecil umat Islam ini merupakan sesuatu yang absurd. Isu tersebut seakan menempatkan Indonesia selama ini tidak menjalankan syariat Islam. Mereka menganggap ideologi negara kesatuan ini belum final dan mempertanyakan kembali hasil kesepakatan para pendiri bangsa.
Para pejuang NKRI Bersyariah mempersoalkan Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa. Mereka menempatkan Pancasila berhadap-hadapan dengan Islam. Berasas Pancasila dianggap sebagai tidak islami. Pancasila disalahpahami sebagai “agama baru”, padahal ia merupakan titik temu dari berbagai kelompok dan agama sebagai komponen pendiri bangsa ini.
Padahal sembilan tahun sebelum Indonesia merdeka, para ulama yang terhimpun dalam Nahdlatul Ulama telah mengkaji posisi Indonesia secara fikih. Muktamar NU di Banjarmasin pada tahun 1936 menempatkan Indonesia sebagai “Darul Islam”. Pandangan NU ini didasarkan atas keterangan dalam Bughyatul Mustarsyidin bahwa:
“Setiap kawasan di mana orang Islam mampu menempati pada suatu masa tertentu, maka kawasan itu menjadi daerah Islam, yang ditandai dengan berlakunya hukum Islam pada masanya. Sedangkan pada masa sesudahnya, walaupun kekuasaan Islam terputus oleh penguasaan orang-orang kafir (Belanda) dan melarang mereka untuk memasukinya kembali dan mengusir mereka. Jika dalam keadaan seperti itu, maka dinamakan darul harb hanya merupakan bentuk formalnya, tetapi bukan hukumnya. Dengan demikian, perlu diketahui bahwa kawasan Batavia, bahkan seluruh tanah Jawa (Nusantara) adalah darul Islam, karena pernah dikuasai umat Islam, sebelum dikuasai oleh orang-orang kafir Belanda.” (NU Online)
Nabi Muhammad sendiri begitu toleran dan mengakomodir berbagai suku, agama, dan kelompok dalam wadah Piagam Madinah. Dengan kesepakatan tersebut, negara Madinah menjadi negara kesepakatan antarkelompok, bukan monopoli Islam. Nabi tidak menjadikan Madinah sebagai Negara Islam secara formal, namun pelaksanaannya penuh dengan nilai-nilai Islam yang moderat dan toleran.
Di Indonesia, Piagam Madinah tersebut dikristalisasi dalam ideologi negara Pancasila. Pancasila bukan monopoli salah satu agama dan kelompok, namun ajaran seluruh agama mengilhami perilaku berbangsa dan bernegara. Universalitas Pancasila dapat mengakomodir seluruh kepentingan dan menjadi elan vital bagi perjuangan membangun peradaban.
Dengan demikian, para pengusung Islam simbolik ini dapat dikatakan tidak memahami substansi dan konsep berbangsa dan bernegara yang mempersatukan. Bentuk negara tidak pernah dimutlakkan dalam bentuk tertentu. Buktinya, negara-negara muslim sekarang ini bentuknya beragam, seperti Mamlakah/Kerajaan (Arab Saudi, Bahrain, Yordania, Brunei), Keamiran (Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait), Kesultanan (Oman), hingga Jumhuriyah/Republik (Iraq, Iran, Libanon, Suriah, Turki, Yaman, Indonesia).
Berbagai varian bentuk negara tersebut tidak lantas menjadikan satu bentuk negara tertentu lebih islami dari yang lain. Sebab nyatanya, hal itu tidak berbanding lurus dengan perilaku islami penduduknya. Data yang dilansir Denny JA menunjukkan Islamicity Index negara-negara pada 2017. Parameter pengukurannya berdasarkan nilai-nilai al-Qur’an dalam hubungan sosial, seperti pemerintahan yang bersih, ketimpangan ekonomi kecil, dan tingkat penghormatan terhadap hak asasi.
Yang mengejutkan, justru negara-negara Barat masuk dalam 10 besar negara yang paling islami, yaitu Selandia Baru, Belanda, Swedia, Irlandia, Swiss, Denmark, Kanada, dan Australia. Negara-negara muslim hanya menempati posisi di bawahnya, misalnya Malaysia (rangking 43), United Arab Emirat (47), Indonesia (74), dan Saudi Arabia (88).
Bahkan untuk ukuran tingkat kebahagiaan penduduknya, bentuk negara tidak dapat menjadi jaminan. Lagi-lagi, negara-negara Barat memiliki nilai yang lebih tinggi. Sesuai World Happiness Index 2018, negara-negara muslim hanya menempati posisi tengah, seperti Uni Emirat Arab (20), Malaysia (35), dan Indonesia (di bawah Top 50), jauh di bawah Top 10, yaitu Finlandia, Norwegia, Denmark, Islandia, Swiss, Belanda, Kanada, Selandia Baru, dan Australia.
Lantas apa yang salah dari sistem yang diterapkan negara-negara muslim tersebut? Cendekiawan muslim Muhammad Abduh memberikan otokritik kepada umat Islam. Menurutnya, “al-Islam mahjubun bil muslimin” (kemuliaan Islam ditutupi oleh perilaku oknum umat Islam itu sendiri). Pernyataan tersebut tentu tidak muncul tiba-tiba, namun melewati sebuah perenungan yang mendalam. Kesalahan yang fatal dalam memahami Islam menimbulkan perilaku yang salah dalam berislam. Ajaran Islam yang menjunjung tinggi akhlak dan budi pekerti tertutupi oleh perilaku sebagian pemeluknya yang buruk.
Salah satu perilaku buruk tersebut adalah politisasi agama. Agama Islam yang mengajarkan keluhuran etika diseret untuk kepentingan politik praktis. Sikap takfiri yang gampang mengkafirkan sesama muslim yang beda aspirasi politik menjadi hal lumrah bagi kaum radikal. Vonis kafir, munafik, sesat, bahkan halal darahnya menjadi senjata pamungkasnya. Karakter mereka yang paling menonjol adalah ketidaksiapannya untuk berbeda.
Tidak terlalu mengherankan bila kita temukan fakta, mereka yang telah terpapar virus radikal tidak menyisakan ruang untuk berbeda pendapat. Tidak sulit menemukan karakter buruk ini dalam keseharian, seperti kegemaran mereka dalam menebar berita bohong, pembunuhan karakter, hingga fitnah. Mereka acapkali mengobral dalil dan memperkosa ayat demi memenuhi nafsu politiknya. Sifat dari penganut Islam radikal seperti inilah sesungguhnya yang menghancurkan dakwah Islam yang ramah dan damai.
Kembali pada pertanyaan, pilih mana NKRI Bersyariah atau ruang publik yang manusiawi? Jawabannya adalah ruang publik yang manusiawi. Alasannya sederhana. Menyitir Ali bin Abi Thalib, slogan NKRI Bersyariah termasuk kalimatun haq yuridu bihil bathil (kalimat yang benar, namun untuk tujuan jahat). Kerukunan dan persatuan akan tercabik dengan adanya pihak-pihak yang menonjolkan kelompoknya. Hal ini tentu berpotensi mengganggu harmoni dalam kemajemukan.
Kehidupan berbangsa dan bernegara meniscayakan adanya kesadaran atas kebhinnekaan, dimana masing-masing komponen bangsa berhak mendapatkan kesetaraan dan keadilan. Dengan atau tanpa slogan apapun, yang terpenting adalah nilai-nilai agama dapat diterapkan oleh masing-masing pemeluknya dalam bingkai NKRI. Dan sejak dulu, hal ini sudah ratusan tahun dijalankan oleh masyarakat di bumi Nusantara ini.
Melihat kenyataan ini, kita bisa lantang menyerukan bahwa NKRI sudah bersyariah! Pancasila sudah sangat islami, sebab ia merupakan perwujudan dari nilai-nilai islami yang terkandung dalam kelima silanya.
Penulis : Rofi’udin,
Penyuluh Agama Kemenag Magetan, Pegiat Moderasi Beragama